KEHIDUPAN SOSIAL DALAM MASYARAKAT PLURAL
BAB I
PENDAHULUAN
Manusia selain sebagai makhluk individu,
manusia juga disebut sebagai makhluk sosial. Artinya manusia memiliki kebutuhan
dan kemampuan serta kebiasaan untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan
manusia yang lain, selanjutnya interaksi ini berbentuk kelompok. Kemampuan dan
kebiasaan manusia berkelompok ini disebut juga dengan zoon politicon.
Istilah manusia sebagi zoon politicon pertama kali dikemukakan oleh Aristoteles yang
artinya manusia sebagai binatang politik. Manusia sebagai insan politik atau
dalam istilah yang lebih populer manusia sebagai zoon politicon, mengandung makna bahwa manusia memiliki kemampuan
untuk hidup berkelompok dengan manusia yang lain dalam suatu organisasi yang
teratur, sistematis dan memiliki tujuan yang jelas, seperti negara.Sifat
berkelompok pada manusia didasari pada kepemilikan kemampuan untuk
berkomunikasi, mengungkapkan rasa dan kemampuan untuk saling bekerjasama.
Berkelompok dalam kehidupan manusia adalah
suatu kebutuhan, bahkan bertujuan. Tujuan manusia berkelompok adalah untuk
meningkatkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidupnya. Apapun bentuk kelompoknya,
disadari atau tidak, manusia berkelompok mempunyai tujuan meningkatkan
kebahagiaan hidupnya. Melalui kelompok manusia bisa memenuhi berbagai macam
kebutuhan hidupnya, bahkan bisa dikatakan kebahagiaan dan keberdayaan hidup
manusia hanya bisa dipenuhi dengan cara berkelompok. Tanpa berkelompok tujuan
hidup manusia yaitu mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan tidak akan bisa tercapai.
A. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan masyarakat plural ?
2. Apa ciri-ciri masyarakat plural ?
3. Bagaimana Islam
Memandang Masyarakat Plural dalam Kehidupan Sosial ?
4. Apa saja Konsep Pluralitas Yang Diajarkan Syariat Islam
B. Tujuan
1.
Agar mahasiswa dapat mengartikan pengertian
masyarakat plural .
2.
Agar mahasiswa dapat mengetahui ciri-ciri masyarakat plural .
3.
Agar mahasiswa dapat mengetahui bagaimana Islam memandang masyarakat slural dalam kehidupan sosial.
4.
Agar mahasiswa dapat mengetahui konsep pluralitas yang diajarkan syariat Islam .
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Masyarakan Plural
Konsep masyarakat plural ini dikemukakan oleh J.S Furnivall
kira-kira 60 tahun yang lalu. Mengikut beliau masyarakat majmuk wujud apabila, ‘two
or more elements or social orders which live side by side, yet without
mingling, in one political unit – dua atau lebih unsur atau peraturan
sosial wujud beriringan tapi tanpa bercampur dalam satu unit politik”
(Furnival, 1939).
Masyarakat plural adalah masyarakat yang penduduknya terdiri
daripada dua atau lebih sub-penduduk (kelompok), di mana anggota dalam setiap
sub-kelompok tersebut mempunyai rangkap nilai dan juga tanggapan yang
distingtif bagi mengatur kehidupan domestik dan peribadi mereka).
B. Ciri-Ciri Masyarakat Plural
- Ethnisiti dan perbedaan etnik merupakan ciri utama masyarakat majemuk.
- Setiap kelompok etnik mengamalkan budaya masing-masing (termasuk agama, bahasa, adat resam dll)
- Secara teorinya trend budaya satu-satu kelompok etnik itu tidak bercampur aduk dengan trend budaya kelompok etnik lain walaupun sedikit sebanyak berlaku pinjam meminjam budaya (cultural borrowing).
- Semua kelompok etnik yang berbeda itu berhubungan dan berkerjasama antara satu sama lain dalam bidang ekonomi, politik, sosial, dll, dengan masing-masing mempunyai serta menjaga kepentingan tersendiri.
- Semua kelompok etnik menjadi warganegara serta mendukung undang-undang negara yang sama.
Adapun kata pluralisme berasal dari
bahasa Inggris “plural” yang berarti jamak atau banyak, adapun pluralisme itu
sendiri berarti suatu paham atau teori yang menganggap bahwa realitas itu
terdiri dari banyak substansi. Pluralisme juga sering digunakan untuk melihat
makna realitas keragaman sosial-masyarakat sekaligus sebagai prinsip atau sikap
terhadap keragaman itu. Baik kemajemukan dalam unsur budaya maupun
keragaman manusia dengan segala aspeknya.
Allah telah menciptakan manusia
dengan berbagai macam keunikan mulai dari: warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
suku, dan postur tubuh serta keragaman agama dan budaya yang berbeda dari
manusia satu dengan lainnya. Hal ini merupakan kehendak-Nya yang bersifat
kodrati dan hukum Allah: sunnatullah ini mencerminkan kekuasaan dan keagungan
Tuhan yang layak disembah.

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda
kekuasaaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu
dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (Q.S. ar-Rum 22)
Kemajemukan memang murni kekuasaan Allah SWT bukan berarti
Ia tidak mampu menciptkan ummat yang satu. Kenapa Allah tidak menghendaki
demikian? Karena dengan ini manusia akan diuji kesalehannya, untuk dapat
menghormati dan menghargai antar person ciptaan-Nya dan berlomba-lomba dalam
hal kebaikan. Kalau memang keragaman merupakan sunatullah maka tidak ada sikap
lain bagi muslim terhadap pluralitas itu kecuali menerima sepenuhnya.
Dalam
hubungannya dengan pluralitas, Islam menetapkan prinsip untuk saling
menghormati dan untuk saling mengenal serta saling mengakui eksistensi kelompok
lain, seperti yang ditegaskan al-Qur’an:
Surat al Hujurat : 13
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا
خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ
لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ
عَلِيمٌ خَبِيرٌالحجرات : 13
Artinya: “Wahai manusia, sesunguhnya telah kami jadikan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu sekalian saling mengenal.”
Untuk memelihara keamanan, keselamatan dan hidup damai maka
harus ada undang-undang yang disepakati bersama. Hal ini diwujudkan Rasul dalam
piagam madinah. Piagam ini merupakan bukti autentik bahwa Islam mendukung dan
memerintahkan umatnya melakukan kerjasama dengan kelompok lain meskipun berbeda
agama dan keyakinan. Sifat inklusif ini terus digalang oleh rasulullah.
Kuntowijoyo berpandangan bahwa Islam mengakui adanya diferensiasi dan bahkan
polarisasi sosial. Al-Qur’an menggariskan bahwa fenomena ketidaksamaan sosial
tersebut sebagai sunnatullah, sebagai hukum alam dan realitas empiris yang
ditakdirkan terhadap dunia manusia.
Dengan demikian pluralitas masyarakat baik mengenai sifat
manusia maupun kemajemukan budaya sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran
Islam tidak terkecuali pluralitas masyarkat Indonesia. Kemajemukan suatu
masyarakat atau bangsa haruslah tetap dipelihara dan dijaga bersama demi
tegaknya keadilan dan keamanan hidup manusia yang berbangsa dan bernegara.
C.
Islam Memandang Kehidupan Sosial
dalam Masyarakat Plural
Hampir semua agama-agama besar
dunia dan formal (Hindu, Budha, Kongfusius, Islam dan Kristen) eksis dan
memiliki penganut di negeri ini. Masyarakat Madinah yang dipersatukan oleh Nabi
Muhammad SAW juga adalah masyarakat yang plural atau heterogen yang terdiri
dari komunitas Arab Muslim (Ansar dan Muhajirin), komunitas Arab Madinah yang
paganis, komunitas Yahudi, golongan munafik dan bertetangga baik dengan
komunitas Kristen yang tinggal di Najran. Dengan demikian terdapat titik
persamaan latar belakang sejarah dan sosio-kultural antara masyarakat Madinah
dan masyarakat Indonesia, yaitu masyarakat-masyarakat berpologi pluralistik.
Persamaan lain adalah ide yang melatar belakangi penerimaan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 oleh semua penganut agama bertujuan untuk mewujudkan
kesatuan dan persatuan dalam kehidupan sosial politik bersama. Piagam Madinah
pun yang dibuat oleh Nabi Muhammad SAW yang disetujui dan diterima oleh semua
komunitas penganut agama dan keyakinan bertujuan untuk mempersatukan mereka
dalam kehidupan sosial politik bersama (Pulungan, 1993: 5).
Fakta sosial historis tersebut
menunjukkan bahwa seluruh umat manusia tidak akan mengikuti agama yang sama.
Penganut agama yang berbeda-beda dalam sejarah kemanusiaan selalu ada. Dalam
Al-Quran disebutkan sebuah dictum kenabian bahwa Allah tidak berkehendak agar
semua orang menjadi mukmin (QS, 10: 99):
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ
لآمَنَ مَنْ فِي الأرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى
يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ
Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah
beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak)
memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?
Dia hanya memberi petunjuk melalui Rasul-Nya dengan wahyu,
dan kemudian manusia diberi kebebasan untuk memilih agama dan keyakinan yang
dikehendakinya (QS, 18: 20).:
إِنَّهُمْ إِنْ يَظْهَرُوا عَلَيْكُمْ يَرْجُمُوكُمْ أَوْ يُعِيدُوكُمْ فِي
مِلَّتِهِمْ وَلَنْ تُفْلِحُوا إِذًا أَبَدًا
Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui
tempatmu, niscaya mereka akan melempar kamu dengan batu, atau memaksamu kembali
kepada agama mereka, dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama
lamanya”.
Dan terbukti pula dalam sejarah kerasulan walaupun para rasul
Allah sangat menghendaki agar seluruh umatnya beriman kepada Allah, namun
sebagian besar manusia tetap tidak beriman (QS, 12: 103):
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ
Dan sebahagian besar manusia tidak akan
beriman – walaupun kamu sangat menginginkannya-.
Suatu kenyataan pula dihadapan kita bahwa umat manusia
menganut agama dan keyakinan yang berbeda-beda. Karena perbedaan itu selalu ada
dan kita hidup di tengah-tengah kenyataan pluralitas penganut agama, maka kita
harus menerima kenyataan tersebut, dank arena itu pula kita harus bekerja sama
pada berbagai segi kehidupan yang memungkinkan.
Dengan begitu Al-Quran memberi petunjuk dan pedoman bagi
umatnya agar mau menerima kenyataan adanya penganut agama-agama lain dalam
kehidupan sosial mereka. Karena itu kitab suci terakhir itu menggariskan pula
secara tegas kode etik dan moral bagi umat Islam dalam menghadapi komunitas-komunitas
agama lain. Al-Quran menyatakan yang artinya: “Tidak ada paksaan dalam menerima
suatu agama” (QS, 2:256):
لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ
Dan sekiranya Tuhanmu menghendaki
tentulaj beriman semua orang yang ada di bumi. Maka apakah kamu hendak memaksa
manusia supaya mereka semua menjadi orang-orang beriman” (QS, 10: 99);
وَلا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ
إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ وَقُولُوا آمَنَّا
بِالَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَأُنْزِلَ إِلَيْكُمْ وَإِلَهُنَا وَإِلَهُكُمْ
وَاحِدٌ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
Dan janganlah kamu berdebat
denganAhli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan
orang-orang zalim di antara mereka, dan Katakanlah: “Kami telah beriman kepada
(kitab-kitab) yang diturunkan kepada Kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan
Kami dan Tuhanmu adalah satu; dan Kami hanya kepada-Nya berserah diri”.
Kemudian Allah
memberi petunjuk kepada umat Islam mengenai kode etik dan moral pergaulan
dengan penganut agama dan keyakinan lain, yaitu berlaku baik dan adil terhadap
mereka, jika mereka tidak berlaku zalim.
لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ
الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ
دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْمُقْسِطِينَ (٨)إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ
الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ
وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ
فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (٩)
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat
baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama
dan tidak pula mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu
menjadikan sebagi kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan
mengusir kamu dari negerimu dan membantu orang lain untuk mengusirmu. Dan
barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang
yang zalim (QS. 60: 8-9).
Al-Quran membolehkan orang-orang mukmin menjalin hubungan
kerjasama dengan golongan lain yang berbeda akidah, dengan syarat golongan
tersebut tidak memusuhi mereka yang mukmin. Sebaliknya ayat kedua melarang
orang-orang mukmin menunjukkan sikap bersahabat dengan golongan berbeda agama,
dengan syarat bila mereka memusuhi orang-orang mukmin. Kebolehan dan larangan
dalam dua ayat tersebut tidak bersifat muthlaq
melainkan muqayyad atau bersifat
temporer, yakni dibatasi dan dikaitkan dengan suatu sebab seperti membela diri
atau pembelaan terhadap penganiayaan dan mewujudkan kerukunan untuk
kemaslahatan bersama dalam kehidupan sosial (Pulungan, 1994: 238). Yusuf Ali
mengomentari ayat tersebut mengatakan bahkan dengan kaum kafir pun kita harus
bertindak secara baik dan adil kecuali mereka itu congkak dan berupaya
menghancurkan iman kita, karena itulah yang dicontohkan oleh Nabi besar kita
sendiri (Ali, 1989: 1534). Karena itu Allah melarang orang-orang mukmin
berdebat dengan ahli kitab melainkan dengan cara sebaik-baiknya. Tapi terhadap
yang zalim dari kalangan mereka, yaitu mereka yang membantah kebenaran dan
menyatakan permusuhan, orang mukmin boleh memberikan balasan yang setimpal (QS.
29: 46).
Keterangan ayat-ayat tersebut bermakna bahwa Islam mengandung
ajaran tentang pluralitas keagamaan umat manusia, dan karena itu Islam
membenarkan toleransi dan kebebasan beragama, dan penghormatan terhadap
penganut agama lain. Semua komunitas manusia sekalipun berbeda agama dan
keyakinan diakui eksistensinya oleh Islam dan berhak hidup sesuai dengan
keyakinannya. Kesadaran tentang adanya kemajemukan keagamaan umat manusia,
menurut Ibn Taimiyah, adalah suatu “prinsip yang agung” yang harus dipelihara
dengan baik, sebagaimana telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW (Ibn
Taimiyah, 3, 1962: 60).
Ajaran tersebut dapat dijadikan landasan membina persaudaraan
atau solidaritas antar pemeluk agama atas dasar kemanusiaan, karena dari segi
kemanusiaan seluruh manusia adalah sama dan bersaudara. Dalam Al-Quran terdapat
pandangan antropologis bahwa walaupun manusia dijadikan berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku (QS. 49/13), tapi pada hakikatnya seluruh manusia adalah umat yang
tunggal (QS. 2: 213). Muhammad Abduh ketika membahas konsep ummat
mengakui bahwa agama salah satu faktor perekat sosial, tapi bukan satu-satunya.
Masih aada faktor perekat sosial yang lebih universal, yaitu unsur kemanusiaan.
Unsur yang sangat dominant dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial,
manusia suka bekerjasama dan membentuk organisasi kemasyarakatan untuk mencapai
tujuan bersama. Tanpa itu menurut Ibn Khaldun, eksistensi manusia sebagai
makhluk sosial tidak akan sempurna (Ibn Khaldun: 41).
Nabi Muhammad SAW ketika membuat Piagam Madinah (Mitsaq
al-Madinah) atau Konstitusi Madinah (Dustur al-Madinah),
perjanjian tertulis untuk mengatur kehidupan sosial politik komunitas Islam dan
non Islam menggunakan kata ummat (umat) dalam dua
pengertian. Pada pasal 1 dinyatakan bahwa orang-orang mukmin-muslim adalah umat
yang satu, ttermasuk golongan lain. Penggunaan kata ummat di
sini bersifat eksklusif dan dasarnya adalah “persaudaraan seagama”. Tapi pada
pasal 25 dinyatakan bahwa kaum Yahudi dan sekutunya (kaum musyrik dan munafik)
adalah satu umat bersama orang-orang mukmin. Penggunaan kata ummat
di sini bersifat inklusif dan dasarnya adalah “persaudaraan sosial dan
kemanusiaan”, al-ukhuwah al-ijtima’iyah wa al-insaniyah
(Pulungan, op. cit., 184). Karena itu
tepat komentar Nurcholish Madjid: “Muhammad SAW tidak membentuk masyarakat
politik yang eksklusif bagi kaum Muslimin” (Majid, 1983: 12). Tetapi beliau
menghimpun semua golongan penduduk Madinah baik yang menerima maupun yang
menolak risalahnya. Perbedaan akidah tidak menjadi alas an untuk tidak bersatu
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Gerakan Nabi mempersatukan
penduduk Madinah menjadi satu umat, menurut Watt, merupakan kesatuan politik
tipe baru. Ia menulis “… the people of Madina were now regard as constituting
apolitical unit a new type, an Ummah or Community” (Watt, 1963: 94).
Nabi Muhammad SAW juga menjalin hubungan baik dan damai
melalui perjanjian dengan kaum Yahudi di Khaibar, Wadi al-Qura’, Fadak dan
Taima’ (Haikal, 1990: 423-425). Nabi juga membuat perjanjian yang menjamin
kebebasan beragama dan keamanan umum bagi kaum Kristen di mana saja dan
sepanjang zaman. Perjanjian itu antara lain mengatakan siapa saja orang yang
menganut agama Nasrani di Timur maupun di Barat, dekat maupun jauh, dikenal
atau tidak dikenal, orang Arab atau bukan Arab diberi kebebasan beragam,
keamanan jiwa dan hartanya dijamin, dan rumah-rumah ibadah mereka tidak boleh
dirusak (Hamidullah, 1969: 414-415). Demikian pula terhadap kamu Majusi yang
bertetangga dengan daerah Islam diberi oleh Nabi kebebasan melaksanakan
keyakinannya dan keamanan jiwa dan harta mereka dijamin. Bahkan sebelum
diangkat menjadi Rasul, Muhammad SAW menjalin hubungan baik dengan seorang
rahib Nasrani di Makkah. Kemudian pada awal perkembangan Islam, berlaku
menyuruh pengikutnya yang jumlahnya sedikit berlindung ke negeri Habsyi,
komunitas Nasrani agar terhindar dari siksaan kaum musyrik.
Penjelasan doktrial keagamaan Islam dan praktek Nabi
tersebut, menurut Nurcholish Madjid, melandasi berbagai kebijakan politik
kebebasan beragama dalam Dunia Islam (Madjid, 1992: 193). Dengan demikian baik
keterangan nash-nash ajaran maupun
secara historiss-sosiologis, Islam telah mengadakan reformasi sosial politik,
diantaranya yang terpenting adalah penegasan tentang kebebasan beragama (Ibid).
karena itu Al-Maududi menyatakan: “Muslimin dianjurkan hidup damai dan
bersahabat jika kelompok non-Muslim memperlihatkan sikap bersahabat dan damai,
Muslimin juga harus bersikap ramah dan bersahabat dengan mereka. Berurusan
secara jujur dan adil” (Al-Maudini, 1987: 189).
Dari refleksi normatif dan historiss-sosiologis Islam tentang
pluralisme keagamaan tersebut dapat dimunculkan refleksi pemikiran mengenai
dasar-dasar etika dan moral solidaritas antar umat beragama dalam perspektif
Islam.
Kebebasan beragama adalah hak personal setiap orang, karena
itu siapa pun tidak dibenarkan memaksa orang atau kelompok untuk menerima keyakinan
suatu agama. Pendekatan terselubung untuk mengubah keyakinan seseorang tidak
dibenarkan. Keinginan yang bersifat ambisius dan emosional untuk menjaring
penganut baru dari anggota umat agama lain dengan cara pendekatan materi
(ekonomi) misalnya, harus ditekan. Tapi melalui pendekatan dakwah lisan dan
tulisan menyampaikan kebenaran ajaran agama masing-masing secara bebas dan
terbuka berdasarkan asas kebebasan menyatakan pendapat dapat ditolerir. Karena
itu toleransi dalam kehidupan beragama harus ditumbuhkan secara terbuka.
Paradigma kebebasan dan toleransi beragama karena Islam mengandung ajaran
tentang persamaan manusia. Di atas persamaan ini dapat dibentuk persaudaraan
dan persahabatan antar pemeluk agama dalam kehidupan sosial berdasarkan
kemanusiaan demi untuk terwujudnya ketertiban sosial bersama. Dengan demikian
dari sisi kemanusiaan, Islam tidak mengenal eksklusivisme, dan dari sisi
akidah, Islam juga tidak mengenal intoleransi. Dalam pergaulan sosial Islam
menggariskan kepada umatnya, yaitu tidak boleh berbantahan dengan penganut
agama lain melainkan dengan cara yang sopan dan etis, dan mereka boleh berbuat
baik dan berlaku adil terhadap komunitas agama lain.
D.
Konsep
Pluralitas yang Diajarkan Syariah Islam
Hubungan baik antar manusia dengan berbagai macam keberagaman ras
adalah hal pokok dalam kehidupan. Allah Swt. menyatakan; “Wahai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. al-Hujurat ayat 13).
Dengan mengingat kesatuan asal-muasal manusia, maka ikatan
psikologis telah dijalin demi persatuan sosial. Serta mengurangi sebisa mungkin
kebanggaan-kebanggan individu yang saling merendahkan satu sama lain. Hal ini
berdasarkan pada ayat suci; “…dan Kami tidak mengutus rasul-rasul
sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di
pasar-pasar. Dan Kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain,
maukah kamu bersabar? Dan adalah Tuhanmu Maha Melihat.” (QS. al-Furqan ayat
20).
Setidaknya ada 10 prinsip yang diajarkan syari’ah Islam untuk
menata kehidupan sebagai konsep dalam masyarakat yang plural (beragam):
1.
Tidak Ada Pemaksaan dalam Berkeyakinan
Di dalam al-Quran, Allah Swt. menyebutkan; “Tidak ada paksaan
untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar
daripada jalan yang sesat.” (QS. al-Baqarah ayat 256). Perlu dicatat,
bagaimanapun, bahwa mendakwahkan agama dan mengkampanyekan kebaikan-kebaikannya
tidak akan berhasil dengan paksaan, maka hal tersebut dilarang. Meskipun
begitu, dakwah tetap merupakan kewajiban, bahkan menjadi tugas yang pokok bagi
kaum Muslimin.
Ada perbedaan yang sangat jelas antara menerapkan kekerasan untuk
pemaksaan agama dengan perlawanan fisik terhadap hambatan dakwah, yang dimulai
dengan argumen-argumen bernas. Ketika memang terjadi hal terakhir itulah, perlu
ada perlawanan fisik. Allah Swt. berfirman; “Dan perangilah mereka itu,
sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata
untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada
permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang dzalim.” (QS. al-Baqarah
ayat 193). Namun tentu saja, sikap perlawanan ini tidak boleh bertentangan
dengan ayat sebelumnya, bahwa “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama
(Islam).”
2.
Perlindungan atas Nyawa, Harta dan Kehormatan Setiap Warga
Di dalam al-Quran disebutkan; “Oleh karena itu Kami tetapkan
(suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: 'Barangsiapa yang membunuh seorang
manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat
kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.
Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia
telah memelihara kehidupan manusia semuanya'.” (QS. al-Maidah ayat 32).
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Abdullah bin Umar bahwa
Rasulullah Saw. bersabda; “Barangsiapa membunuh seorang mu’ahad (yakni orang
yang dijamin keselamatannya, merujuk kepada orang non-Muslim yang hidup di
negeri Muslim), tidak akan mencium wewangian surga, meskipun aroma surga bisa
tercium dari jarak 40 tahun perjalanan.” Maka atas dasar perlindungan
terhadap kehidupan, kepemilikan dan kehormatan itulah pentingnya membangun
hubungan baik di antara kelompok-kelompok sebagai anggota suatu masyarakat.
3.
Keadilan dalam Setiap Kebijakan Pemerintah terhadap Semua Elemen Masyarakat
Pembawaan emosional maupun kepentingan pribadi tidak diperbolehkan
menjadi dasar untuk membuat putusan; baik untuk menegaskan yang salah, maupun
untuk membatalkan kebenaran. Allah Swt. berfirman; “Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh
kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya
Allah adalah Mahamendengar lagi Mahamelihat.” (QS. an-Nisa' ayat 58).
Disebutkan juga di dalam al-Quran; “Hai orang-orang yang
beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran)
karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Mahamengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Sejarah kejayaan Islam menyebutkan kisah menarik, yakni tentang
suatu balapan kuda antara putra ‘Amr bin Ash (gubernur Mesir saat itu) dengan
seorang warga Mesir biasa. Karena kalah, putra ‘Amr ini emosi kemudian memukul
orang Mesir itu tanpa kendali. Kemudian orang Mesir tersebut melaporkan hal ini
kepada Khalifah Umar bin Khattab. Beliaupun memanggil putra ‘Amr dan ayahnya,
lalu mempersilakan si orang Mesir untuk membalas sesuai dengan perlakuan yang
dialaminya. Lalu Khalifah menegur si pelaku; “Sejak kapan engkau mulai memiliki
orang yang terlahir merdeka ke dunia ini?” Lihatlah, kejadian ini menjadi
salah satu cerminan prinsip keadilan dan kesetaraan di dalam Islam.
4.
Cinta-kasih dan Kesetiaan vis-a-vis Keadilan dan Kebaikan
Meskipun cinta dan kasih mendalam tidak diperkenankan untuk
ditunjukkan kepada mereka yang mengingkari Allah dan RasulNya, namun
nilai-nilai kebaikan dan keadilan harus tetap ditegakkan, sebagaimana diajarkan
oleh Islam dan merupakan warisan dari Rasulullah Saw. Penjelasan tentang ini nampak
jelas di dalam al-Quran;
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku
adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berlaku adil.” (QS. al-Mumtahanah ayat 8).
Larangan di dalam ayat ini terkecualikan bagi segelintir orang,
yakni mereka yang memobilisasi kekuatan untuk menyerang, menekan dan menjajah,
sebagaimana ditekankan dalam ayat al-Quran; “Sesungguhnya Allah hanya
melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena
agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk
mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah
orang-orang yang dzalim.” (QS. al-Mumtahanah ayat 9).
Jika ayat-ayat al-Quran kita lihat secara keseluruhan, maka
ayat-ayat semacam ini: “Wahai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan
orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka
ialah Jahannam. Dan itu adalah tempat kembali yang seburuk-buruknya.” (QS.
at-Taubah ayat 73), ialah merujuk kepada kelompok manusia tertentu yang
melakukan penyerangan, menjajah kemerdekaan dan menebarkan kerusakan. Tak
perlu dipertanyakan lagi bahwa penjajah memang harus dilawan. Namun perlu
dipahami bahwa ada garis-garis tuntunan dalam hal tentang perlawanan ini.
Narasi berikut ini sekiranya bisa menggambarkan hal tersebut;
Diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi, dari Abu Imran al-Jauni, bahwa
Abu Bakr ash-Shiddiq Ra. suatu kali mengirimkan Yazid bin Abi Sufyan ke Syam
(hari ini Suriah dan sekitarnya). Kala itu, Yazid berkata, “Aku tak suka
melihat keadaan ini; aku berkendara sedangkan engkau jalan kaki.” Kemudian Abu
Bakr menyahut, “Engkau telah keluar sebagai orang yang berperang di jalan
Allah, maka aku mengharapkan pahala dari jalan kakiku ini.” Lalu beliau
menasehati Yazid, “Jangan membunuh anak-anak, wanita, orang tua, jangan pula
menyerang orang terluka dan sakit, maupun para rahib. Pastikan jangan sampai
menebang pohon-pohon berbuah, atau merusak wilayah berpenghuni. Jangan bunuh
unta-unta atau hewan ternak melainkan sekedar untuk makan, jangan pula
tenggelamkan pohon-pohon kurma ke laut atau membakarnya.”
Jika demikian halnya etika yang diteladankan oleh Rasulullah
melalui para sahabat terhadap para penyerang dan penjajah, maka bagaimana
kiranya akhlaq beliau terhadap mereka yang tidak menyerang?
5.
Mematuhi Kesepakatan dan Mencegah Pengkhianatan
Allah Swt. berfirman; “Kecuali orang-orang musyrik yang kamu
telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu
pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang
memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas
waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa.” (QS.
at-Taubah ayat 4).
Di dalam kiab sirahnya, Ibnu Hisyam menuliskan bahwa; "Ketika
Abu Jandal mendatangi Rasulullah Saw. pada saat perjanjian Hudaibiyah. Saat
itu, Rasulullah Saw. berkata kepadanya; “Wahai Abu Jandal, bersabarlah dan
harapkanlah pahala, sebab Allah akan menyediakan jalan keluar bagimu dan kaum
Muslimin yang bersamamu. Kita telah mengikat kepercayaan dengan mereka, kita
telah berjanji tidak akan mencederai perjanjian ini dan merekapun demikian atas
nama Allah. Maka kita tidak akan mengkhianati perjanjian ini.”
Stabilitas dan keseimbangan jangka panjang hanya bisa diharapkan
jika seluruh unsur masyarakat mau berkomitmen terhadap persetujuan bersama. Hal
ini kemudian akan menciptakan situasi yang aman, suasana yang nyaman dalam
keberagaman, dimana pelaksanaan dan pertukaran kepentingan bersama bisa
berlangsung.
6.
Mengenali Pihak-pihak yang Bisa Diajak Bekerjasama
Ketika Rasulullah Saw. meninggalkan Mekkah bersama Abu Bakr Ra.,
beliau menyewa seorang musyrik yang bisa dipercaya untuk memandu jalan. Bahkan
pada saat hendak Perang Badar. Diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. berpesan
kepada para sahabat; “Aku kenal banyak diantara Bani Hasyim dan lainnya
yang dipaksa untuk berperang dalam medan ini. Maka jika kalian berhadapan dengan
orang-orang dari Bani Hasyim, jangan serang mereka, dan siapapun yang
berhadapan dengan Abbas bin Abdul Mutthalib maka jangan sampai membunuhnya
karena ia pun telah dipaksa berperang dan tidak atas kemauannya.”
Lebih jauh lagi, saat Rasulullah Saw. kembali dari Tha’if menuju
Mekkah, sambil memperkirakan akan muncul banyak serangan sepeninggal Abu
Thalib, maka beliau bernaung di bawah perlindungan Muth’im bin ‘Adi, sedangkan
Abu Bakr kepada Ibnu Dughunnah.
7.
Membuat Pembedaan antara Ilmu-ilmu Materi dengan Ilmu-ilmu Akidah dan Syari’ah
Dalam ilmu-ilmu materi, semisal bahasa, permesinan, sosiologi
matematika, teknik, industri, profesi, dan sebagainya, bisa dipelajari dari
siapapun yang memang ahli dalam bidang masing-masing, tentu saja tanpa
melalaikan kewajiban syari’ah. Namun dalam ilmu-ilmu akidah dan syari’ah, harus
dipelajari melalui sumber-sumber otentik, dengan belajar bersama guru yang
bersambung rantai keilmuannya (sanad) kepada Rasulullah Saw. Hal ini diterapkan
bagi ilmu-ilmu akidah dan syari’ah, tidak demikian dengan ilmu-ilmu material
karena tentu akan sangat menghambat.
Al-Hafidz Ibnu Hajar menorehkan di dalam Fathul Bari, “Ahmad dan
Ibnu Abi al-Bazzar menyampaikan dari riwayat Jabir, bahwa Umar Ra. suatu kali
datang kepada Nabi Saw. dengan membawa sebuah buku yang ia dapatkan dari
beberapa Ahlul Kitab. Saat ia membacakannya di hadapan Nabi, beliau pun nampak
marah dan berujar, “Telah kubawakan padamu yang suci dan murni. Maka jangan kau
minta kepada mereka sesuatu yang tidak jelas, yang mana bisa berupa kebenaran
namun kau mengingkarinya, atau berupa kesalahan namun kau mengiyakannya. Demi
Dzat yang jiwaku ada di TanganNya, jika Musa masih hidup tentu dia tak punya
pilihan lain selain mengikutiku.”
Imam Muslim, di dalam mukadimah Shahih-nya, mengatakan ujaran Imam
Muhammad bin Sirin bahwa; “Sungguh ilmu ini ialah agama. Maka perhatikan
darimana engkau mengambil agamamu.”
8.
Membalas Kebaikan dengan Kebaikan Pula
Rasulullah Saw., sebagai bentuk penghormatan terhadap para tawanan
Perang Badr, mengatakan; “Perlakukan Ibnu ‘Adi dengan baik di antara para
tawanan ini, pasti aku akan bebaskan mereka semua sebab dia.” Hal ini
dikarenakan Ibnu ‘Adi adalah sosok yang sangat menentang pemboikotan kaum
Quraisy terhadap Nabi, serta dialah yang merobek surat kesepakatan yang
memutuskan pengasingan Bani Hasyim di Syi’b Abu Thalib selama beberapa tahun,
serta dia pulalah yang memberikan perlindungan kepada Nabi ketika kembali dari
Tha'if.
Juga harus dicatat, bahwa penolakan segala bentuk rasisme dan
kesukuan akan sangat memperkuat kebaikan di antara unsur dalam
masyarakat. Abu Dawud meriwayatkan dari Jubair ibn Muth’im, bahwa
Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa mengajak kepada ashabiyyah (fanatisme
kesukuan) maka ia bukan dari golongan kami. Barangsiapa yang bertempur sebab
ashabiyyah, maka ia bukan dari golongan kami. Barangsiapa yang mati dalam
ashabiyyah, maka dia bukan dari golongan kami.”
9.
Menghindari Debat Kusir dan Menyalurkannya Secara Efektif
Salah satu faktor utama penyebab kekisruhan dalam keberagaman adalah
pertengkaran dalam debat yang berlebihan, hasutan menuju keributan, serta
pergolakan dan kritik-kritik yang tidak penting. Syari’ah jelas telah melarang
kita untuk berbantahan, kecuali dengan cara yang baik dan terpuji. Allah Swt.
menyatakan; “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan
dengan cara yang paling baik." (QS. al-‘Ankabut ayat 46).
Juga disebutkan di dalam al-Quran; “Serulah (manusia) kepada
jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan
cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang
siapa yang tersesat dari jalanNya, dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang
yang mendapat petunjuk.” (QS. an-Nahl ayat 125).
Salah satu cara yang juga bisa menjaga dari perdebatan adalah
dengan menyadari bahwa kewajiban dalam dakwah ialah menyampaikan dengan lemah
lembut dan luwes, bukan dengan sikap agresif dan dominasi. Kita juga jangan
sampai memaksakan kehendak kepada orang-orang, mengukur tingkat keimanan orang
lain dan menghakimi apa yang mereka lakukan. Sayangnya perilaku semacam ini
kadang kita temukan pada mereka yang mengaku berdakwah, dan menganggapnya
sebagai bentuk ghirah dalam beragama.
10.
Membuka dan Menyediakan Ruang bagi Para Pencari Kebenaran
“Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta
perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman
Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu
disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (QS. at-Taubah ayat 6).
Sebagai komentar bagi ayat ini, Ibnu Katsir menyatakan dalam
tafsirnya; “Maksudnya; Allah menitahkan kepada NabiNya; jika orang-orang
musyrik yang halal darahnya (sebab penganiayaan yang telah mereka lakukan) itu
datang kepadamu untuk meminta perlindungan, maka berilah mereka perlindungan
hingga mereka bisa mendengarkan al-Quran. Hal ini memungkinkan bagi mereka
untuk menerima kebenaran Islam, serta mengimani Allah Swt. Setelah itu, mereka
bisa menetap di tempat yang aman sampai tiba masanya mereka bisa kembali ke
kampung halaman. Dan Allah menyatakan hal ini untuk menunjukkan bahwa ada
kesempatan bagi mereka untuk memahami pesan-pesan Ilahi dan kemuliaan aturan
Islam.”
Inilah sepuluh prinsip hidup dalam keberagaman (pluralitas) yang
disampaikan oleh al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz bin Syaikh Abi
Bakr bin Salim, pengasuh Ma’had Darul Musthafa, Tarim Hadhramaut Yaman. (Sumber: Naseem al Sham,
diterjemahkan oleh Zia Ul Haq dari catatan Dr. Muhammad Yasir al-Qadmani atas
transkrip ceramah al-Habib Umar bin Muhammad bin Hafidz, via www.santrijagad.org/muslimedianews.com).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Untuk mewujudkan
kerukunan hidup beragama dan kerjasama antar umat beragama yang harmonis dan
berkualitas, tampaknya harus didasarkan pada faktor dan unsur yang bersifat
universal, yaitu faktor dan unsur kemanusiaan berdasarkan pandangan agama. Bila
unsur dan faktor yang universal itu dapat difungsikan secara efektif, maka
untuk mewujudkan kerukunan hidup beragama dan bekerjasama antar umat beragama
dan kehidupan sosial tidak memerlukan unsur dan faktor eksternal, seperti
Negara dan pemerintah.
Selain menjadi makhluk individu, manusia juga menjadi
makhluk sosial. Makhluk sosial ialah: makhluk yang tidak dapat hidup sendiridi
dunia ini dan membutuhkan bantuan orang lain untuk terus hidup. Karena menjadi
makhluk sosial manusia memiliki sifat suka bekerjasama dan bersaing . Apabila
dalam bekerjasama dan bersaing manusia berlaku terbuka maka akan
tercipta harmoni sosial. Akan tetapi jika masnusia bersaing secara
tidak tertutup maka bisa terjadi konflik antar manusia. Sebagai
makhluk sosial manusia merindukan suasana damai tetapi juga tak pernah
terhindar dari konflik. Desain manusia sebagai makhluk sosial bukan fikiran
manusia, tetapi juga berasal dari Tuhan Sang Pencipta. Kitab Suci penuh dengan
pesan-pesan harmoni social, dan manusia merupakan makhluk ekonomi yang
cenderung tidak pernah merasa puas dengan apa yang diperoleh dan selalu
berusaha secara terus menerus dalam memenuhi kebutuhannya.
Kesimpulan dari makalah ini adalah hakikat manusia sebagai
makhluk sosial tidak dapat dipungkiri lagi. Manusia membutuhkan orang lain
dalam menjalankan kehidupan di dunia ini begitu juga manusia membutuhkan Tuhan
untuk memperoleh ketenangan jiwa. Tanpa mempercayai Tuhan manusia tidak akan
merasakan ketenangan melainkan kegelisahan dalam hidupnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali,
Abdullah Yusuf, The Holy Qur’an: Text, Translation
and Commentary, Amana Corporation, Erenteood, Maryland, 1989.
Haikal,
Muhammad, Sejarah Hidup Muhammad, Terjemahan
Ali Audah, Litera Antar Nusa, Jakarta, 1990.
Hamidullah,
Muhammad, Majmu’at a—Watsaiq al-Siyasah li al-Rasul wa
al-Khilafah al-Rasyidah, Dar al-Irsyad, Beirut 1969.
Ibn
Taimiyah, Minhaj al-Sunnah Jilid 3, aktabah
Dar al-Urubah, Kairo, 1962.
Al-Maududi,
Abu, ‘Ala, Syari’ah dan Hak-hak Azazi Manusia, dalam
Harun Wilson, E, Anker, Relegion and Personality Integration, Upsala,
1980.
Ridha,
Muhammad Rasyid, Tafsir al-Manar Jilid 2, Maktabah
al-Qahiroh, Mesir, tt.
Watt, W,
Montgomery, Mohammd Prophrt and Statedman, Oxford
University Press, London, 1989.
Yinger,
J. Milton, The Scientific Study of Relegion, Macmillan
Publication Co. Inc., New York, 1970.
Komentar
Posting Komentar